Langsung ke konten utama

Kesenjangan Sosial Menjadi Jawaban Atas Perdebatan Bentuk Bumi


Di saat mahasiswa muda mulai dijejali oleh paham "flat earth" dan "globe earth", mereka mulai digiring masuk dalam doktrin perdebatan, hal tersebut membuat mereka lupa daratan, tak peduli dimanapun tempatnya, mahasiswa muda selalu saja berbincang perihal bentuk dunia (bumi), seperti halnya lelaki yang sedang dimabuk asmara, pastilah selalu menyebut-nyebut nama sang kekasih, tanpa ada jeda.

Mereka lupa, bukankah mereka menyandang gelar "agent of change", bukankah aktifitas mereka dulu sangat identik dengan turun ke jalan, menyuarakan aspirasi-aspirasi rakyat demi memperjuangkan keadilan.

Lantas kalo dipikir sekali lagi, apakah manfaat yang tersirat di balik membedah problem flat earth dan globe earth? apakah manfaat tersebut bisa dinikmati oleh banyak kalangan? Khususnya masyarakat menengah ke bawah yang sampai saat ini masih bersabar akan kerasnya kehidupan?

Saya tidak akan memaparkan dalil-dalil panjang yang menjelaskan tentang autentisitas bentuk bumi yang saya yakini kebenarannya.
Menurut saya, ada hal yang jauh lebih penting daripada itu, sebenarnya bukan persoalan bentuk bumi datar ataukah bulat yang harus diperdebatkan, dan dicari jalan keluar, akan tetapi yang menjadi pokok permasalahan adalah apakah bumi ini berputar ??

Para tokoh intelektual maupun spiritual sepakat bahwa rotasi dan revolusi bumi itu memang ada, seperti halnya tokoh Galileo Galilei, johannes Kepler, Rene Descartes, dan Isaac Newton, sedangkan dalam Islam sendiri ada Al-Battani, Abdel Rahman Al-Sufi, Abul Wáfa al-Buzhgani dan masih banyak lagi yang lainnya.

Saking banyaknya yang setuju dengan teori tersebut, sampai-sampai grub band ST-12 pun membuat sebuah lagu yang berjudul "dunia pasti berputar". Saya sangat senang mendengarkan lagu itu, saking seringnya saya mendengarkannya, saya sampai hafal betul lirik-liriknya (bahkan saya bisa mendendangkan lagu tersebut, dari awal sampai akhir dengan posisi mata tertutup).

Kembali lagi ke topik pembahasan tentang bentuk bumi. Kurang lebih syair pada lagu tersebut menjelaskan tentang keseimbangan dalam kehidupan. Adakalanya satu sisi dunia (bumi) menempati posisi di atas, namun akan terus bergerak sehingga turun kebawah juga. Karena demi stabilnya makhluk Tuhan yang bernama bumi, di mana efek dari perputaran itu akan menimbulkan pergantian waktu, yakni siang dan malam, begitupun seterusnya, kalau dianalogikan ya seperti perputaran jarum jam.

Akan tetapi pada kenyataannya, di dunia yang syarat akan kepentingan politik sekarang ini, banyak kaum borjuis yang merajalela. Mengapa orang-orang seperti mereka yang masih selalu saja nyaman dalam posisi di atas. Tak pernah mau turun ke bawah, sekedar untuk menengok dan membantu menaikkan derajat saudara yang sedang kesusahan, tentunya dengan tujuan untuk menstabilkan roda kehidupan.

Ironis memang, melihat data statistik BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), persentase orang-orang kaya yang mau berzakat masih sangat rendah dibanding populasi masyarakat Indonesia seluruhnya. Kemanakah sisanya?

Sekali lagi, dalam makna sosial, apakah memang bumi ini berputar?

Wahai para mahasiswa muda yang tertanam banyak potensi. Bak intan permata mahal mempesona, bukankah membahas serta memikirkan tindakan untuk menanggulangi kesenjangan sosial itu jauh lebih menarik, daripada hanya sekedar berdebat akan bentuk dari sesuatu.

Kalian penerus bangsa, kalian harapan rakyat sejahtera, kalian pondasi negara, siap menopang keadilan, tak segan merobohkan kedzaliman para wakil rakyat yang semena-mena.

Sadarlah, kalian punya potensi, kalian bisa melakukan hal-hal besar, kalian bisa mewujudkan cita-cita negara yaitu keadilan dan kesejahteraan yang merata.

Sudah saatnya kalian sadar, membahas bentuk dari sebuah benda tak akan ada gunanya. Alihkanlah pikiran kalian untuk memutar roda kehidupan yang keras ini, demi dapat mengangkat derajat para rakyat jelata yang ada di sekeliling kita.

Komentar