Langsung ke konten utama

Komersialisasi Agama Dalam Kancah Politik Indonesia


Agama merupakan sebuah keyakinan yang dianut oleh umat manusia. Agama menjadi jalan petunjuk dalam kehidupan di dunia, tanpa agama butalah mata hati manusia, tersesat dalam lingkaran fatamorgana keelokan duniawi, yang bisa menjerumuskan ke jurang kehancuran. Hakikat agama adalah jembatan menuju Tuhan, orang yang sudah bertuhan, tentulah meyakini akan eksistensi Tuhan, serta resiko-resiko yang akan diterima jikalau melakukan kedurhakaan kepada-Nya.

Tujuan dari beragama sendiri salah satunya membimbing manusia ke jalan kebaikan, seperti halnya membantu sesama, beramal saleh, dan melakukan kegiatan-kegiatan positif lainnya, yang diniatkan agar mendapat ridho Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sang pelaku kebaikan akan mendapatkan balasan setimpal, yakni syurga.

Namun, agama yang seharusnya menjadi suatu yang sakral, di era modernitas seperti sekarang ini, agama bukan hanya menjadi suatu ritual ibadah saja, tapi juga menjadi kutub magnet untuk menarik massa, dengan menjadikan agama sebagai panji-panji guna tercapainya keinginan hati.

Tentu kita tahu dalam setiap Pilkada, Pilgub, ataupun pemilihan wakil-wakil rakyat lainnya, banyak politisi yang menyangkut-pautkan agama kedalam skill berpolitiknya, jikalau memang para calon-calon wakil rakyat tersebut ingin memperjuangkan hak-hak rakyat dan kemaslahatan agama, tentulah tak jadi masalah.

Tetapi realita di lapangan memperlihatkan hanya sedikit saja yang mempunyai misi itu. Sebagian besar sisanya hanya membuat agama sebagai tameng pelindung, bahkan kendaraan, demi meraup suara rakyat, agar dirinya terpilih menjadi pemimpin.

Masih hangat dalam benak masyarakat Indonesia kasus Pilgub DKI Jakarta kemarin, dalam event 5 tahunan tersebut bukan hanya pertarungan antar visi dan misi Cagub dan Cawagub saja, tetapi juga pertarungan antar perwakilan agama. Di satu sisi Anies Rasyid Basywedan (Anies) yang di identikkan dengan perwakilan dari kelompok Muslim, dan di sisi lain Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang di identikan dengan perwakilan Non-Muslim (umat kristiani). 

Di kala itu banyak sekali statement-statement yang membuat masyarakat memanas, tentang siapa yang paling ideal menjadi seorang pemimpin. Konflik pun mulai memuncak tatkala salah satu ormas Islam (saya tidak akan menyebut namanya, namun pastilah pembaca sudah mengetahui) mulai muncul kepermukaan dengan lantangnya menyerukan kata-kata “kafir” dengan nada provokatif, dan puncaknya diakhiri dengan aksi-aksi yang diselenggarakan dan diikuti oleh banyak simpatisan.

Secara kasat mata, acara tersebut memang terlihat sangat agamis, namun sebetulnya syarat akan kepentingan-kepentingan politis, maka tak berlebihan jika penulis menyebutnya dengan aksi "komersialisasi agama".

Dalam setiap aksinya, kelompok tersebut terus meneriakkan kalimat “orang kafir tidak boleh menjadi pemimpin”, dengan semangat yang menggebu-gebu. Dan dengan disertai dalil-dalil yang menjadi pedoman mereka, yakni antara lain QS. Al-Maidah ayat 51. Hal tersebut semakin menunjukkan watak konservatifnya.

Banyak kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan pandangan ormas tersebut, tapi tidak sedikit pula yang setuju, dilansir dari salah satu ceramah Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang ada di kanal Youtube Caknun.com, terdapat penjelasan terkait statement bola api yang beredar di masyarakat, yang mengatakan “mending pemimpin Muslim tapi zolim, daripada pemimpin Non-Muslim atau kafir”.

Dalam video tersebut Cak Nun menjelaskan bahwa persoalan tersebut bukanlah perkara yang materiel, harusnya masyarakat tidak fokus pada identitas agama personal, tapi fokuslah kepada kapasitas diri dari sang calon pemimpin tersebut, sebesar apa kemampuan dalam memimpin, itulah yang seharusnya diutamakan.

Terlepas dari bagaimana berjalannya Pilgub tersebut, yang menjadi sorotan adalah memasukkan unsur agama dalam ruang lingkup politik, besar kemungkinan akan membuat banyak lapisan masyarakat tersakiti. Apabila tindakan itu terus dilakukan, embrio-embrio perpecahan pun akan terus bermunculan. Jangan sampai lupa, bukankah asas dari NKRI adalah “Pancasila”, serta semboyan bangsa adalah “Bhinneka Tunggal Ika”, maka sepatutnya kita sebagai warga negara haruslah selalu menjaga persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.

Alangkah baiknya dalam berpolitik janganlah berlebihan membawa-bawa agama sebagai penunjang suara, menyelipkan nilai-nilai keagamaan tidak jadi masalah, sah-sah saja. Namun yang harus diingat, janganlah sampai agama dan kitab suci menjadi terkurangi bahkan terkotori kesakralannya, hanya demi tercapainya ambisi duniawi semata. Wallahu A’lam Bisshowab.

Terima kasih sudah membaca tulisan lama saya.

Tulisan tersebut merupakan bentuk kegelisahan saya pada pertengahan tahun 2017 silam. Di mana kala itu sedang gencar-gencarnya politik identitas agama. Yang membuat saya geram adalah, umat Islam kala itu seakan dengan sengaja diprovokasi untuk menghujat minoritas (Non-Muslim) dan selalu menaruh stigma negatif kepada mereka.

Komentar