Langsung ke konten utama

Moderasi Beragama: Elaborasi Pengetahuan, Emosi dan Kehati-hatian



Menurut M. Quraish Shihab dalam buku Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, dijelaskan bahwa moderasi beragama atau wasathiyyah bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu, bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis sebagaimana yang dipahami sebagian orang dari hasil pemikiran filsuf Yunani.

Bukan juga sebagaimana dipahami dari namanya “wasath”, yakni “pertentangan” yang mengantar pada dugaan bahwa wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif, seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya.

Moderasi bukan juga kelemah-lembutan. Memang, salah satu indikatornya adalah lemah lembut dan sopan santun, namun bukan berarti tidak juga diperkenankan menghadapi segala persoalan dengan tegas. Disinilah berperan sikap aktif wasathiyyah  sebagaimana berperan pula kata padanannya yakni “adil” dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Lebih lanjut Quraish Shihab menuturkan bahwa tiada wasathiyyah (moderasi) yang dapat mewujud tanpa tiga hal berikut, yakni pengetahuan atau pemahaman, emosi yang seimbang atau terkendali, dan kewaspadaan atau kehati-hatian.

Pun demikian, Quraish Shihab juga memberikan jalan keluar agar bisa menerapkan moderasi (wasathiyyah), dimana penerapannya memerlukan 4 (empat) disiplin keilmuan dan 7 (tujuh) langkah strategis nan efektif. 

Disiplin keilmuan yang dimaksud antara lain: Pertama, Fiqh Al-Maqaashid yakni penelitian tentang illah (latar belakang atau sebab) dari satu ketetapan hukum. Kedua, Fiqh Al-Awlawiyaat yakni kemampuan memilih apa yang terpenting dari yang penting dan yang penting dari yang tidak penting.

Ketiga, Fiqh Al-Muwazaanaat yakni kemampuan membandingkan kadar kebaikan/kemaslahatan untuk dipilih mana yang lebih baik. Keempat, Fiqh Al-Maalaat yang tujuannya meninjau dampak dari pilihan, apakah mencapai target yang diharapkan atau justru sebaliknya menjadi kontra produktif dan lain-lain yang berkaitan dengan dampak kebajikan.

Setelah 4 disiplin keilmuan tersebut telah tuntas dipahami. Maka langkah-langkah yang harus dilakukan selanjutnya adalah: pertama, harus memiliki pemahaman yang benar terhadap teks-teks terperinci Al-Quran dan Sunnah dengan memperhatikan Maqaashid Asy-Syari’ah (tujuan kehadiran agama), kemudian upaya persesuaian penerapan antara ajaran Islam yang pasti lagi tidak berubah dengan perkembangan zaman dan masyarakat yang terus berubah.

Kedua, melakukan kerja sama dengan semua kalangan umat Islam dalam hal-hal yang disepakati dan bertoleransi dalm perbedaan serta menghimpun antara kesetiaan terhadap sesama Muslim dengan toleransi terhadap Non-Muslim. 

Ketiga, menghimpun dan mempertemukan ilmu dengan iman, demikian juga kreativitas material dan keluhuran spiritual, serta kekuatan ekonomi dan kekuatan moral.

Keempat, melakukan penekanan pada prinsip dan nilai-nilai kemanusiaan dan sosial seperti keadilan, syura, kebebasan, bertanggung jawab, dan hak-hak asasi manusia. 

Kelima, mengajak kepada pembaharuan sesuai dengan tuntunan agama serta menuntut dari para ahlinya untuk melakukan ijtihad pada tempatnya.

Keenam, memberi perhatian yang besar dalm membina persatuan dan kesatuan, bukan perbedaan dan perselisihan, serta pendekatan bukan penjauhan, sambil menampilkan kemudahan dalam fatwa yang dirumuskan, serta mengedepankan berita gembira dalam berdakwah. 

Ketujuh, memanfaatkan sebaik mungkin semua peninggalan dan pemikiran lama, antara lain logika para teolog muslim, kerohanian para sufi, keteladanan para pendahulu, serta ketelitian para pakar hukum dan ushuluddin.

Dengan adanya jalan keluar yang telah dipaparkan di atas, semoga kita mampu menerapkan moderasi (wasathiyyah) dalam beragama, agar tercipta suasana keagamaan yang santun, ramah serta damai, bukan hanya memberikan kebahagiaan dan ketenangan bagi para pemeluknya, tapi juga seluruh makhluk yang hidup di dunia (rahmatan li al-‘alamin).

Komentar