Langsung ke konten utama

Moderasi Yes, Deradikalisasi No



Gagasan Haedar Nashir bertajuk “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan” yang disampaikan tahun lalu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tepatnya tanggal 12-12-2019 ketika prosesi acara pengukuhannya menjadi guru besar dalam bidang Sosiologi, memberikan pencerahan terhadap kehidupan berbangsa dan beragama.

Gagasan Haedar tersebut seolah menjadi lampu penerang bagi bangsa dalam memahami dan menyikapi kasus radikalisme. Haedar menjelaskan terminologi radikalisme secara proporsional, dengan posisi yang netral.

Radikalisme yang selama ini diidentikkan dengan kekerasan dan terorisme, menurut Haedar, hal tersebut adalah sebuah kekeliruan, seperti halnya kekeliruan saat menganggap radikalisme selalu berkaitan dengan kelompok beragama.

Bagi Haedar, radikal dan radikalisme adalah suatu konsep yang kompleks. Sehingga perlu dilihat dari kacamata multiperspektif, agar tidak mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam memaknai keduanya.

Haedar menawarkan sebuah konsep yang ia namakan sebagai “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan”. Dalam pandangan Haedar, radikalisme dalam konteks Indonesia, menjalar dalam berbagai aspek kehidupan.

Mulai dari politik, ekonomi, budaya, sampai agama. Radikalisme yang sudah menjalar dalam berbagai aspek tersebut harus segera ditindak lanjuti. Bukan hanya dengan metode deradikalisasi, melainkan jalan moderasi.

Sebagaimana yang ia jelaskan “Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal, seperti halnya strategi deradikalisasi versus radikalisasi, serta deradikalisme versus radikalisme”.

Alasan Haedar memilih jalan moderasi dikarenakan sikap moderasi tidak lain adalah ajaran wahyu yang bersikap imperatif, moderasi juga sebagai salah satu ciri khas masyarakat dan budaya bangsa Indonesia.

Sebagaimana  Indonesia adalah negara yang memiliki tanah air yang subur, dengan keadaan iklim yang tidak ekstrem, dan juga memiliki banyak kepulauan, serta berbagai macam suku, ras, dan bahasa.

Semua unsur tersebut melekat menjadi satu konsensus kesatuan yakni negara pancasila. Maka menurut Haedar, jika ingin merawat moderasi di Indonesia, haruslah menjadikan pancasila sebagai tumpuan agar tetap ditengah, terhindar dari segala tarik-menarik yang bersifat ekstrem (baik kanan ataupun kiri).

Haedar memberikan empat jalan dalam meneguhkan moderasi, yakni sebagai berikut: Pertama, moderasi posisi pancasila. Dalam draf pidatonya Haedar menjelaskan, “Pancasila niscaya diposisikan moderat sehingga tidak dibawa ke langit utopia melampaui agama, sebaliknya tidak serba praktis-teknis dan isntrumental layaknya suatu aturan. Pelaksanaan pancasila pun tidak menjadi jargo dan verbalitas yang kehilangan isi”.

Langkah awal yang diberikan Haedar dengan memproporsionalkan pancasila sebagai konsensus negara agaknya sangat tepat.

Melihat selama ini terdapat sebagian kelompok yang membuat pemaknaan yang tinggi dan amat rumit terhadap pancasila, sehingga membuat seakan-akan poin penting yang terkandung dalam pancasila pun menjadi susah untuk diamalkan.

Kedua, Moderasi dari berbagai ketimpangan sosial ekonomi. Dalam hal ini menurut Haedar, “Sekelompok kecil oligarki politik dan konglomerasi ekonomi yang menguasai hajat hidup publik dan menjauhkan Indonesia dari cita-cita keadilan sosial, niscaya disikapi dengan tegas yang menyatu dengan komitmen negara dlam membumikan Pancasila, sehingga Pancasila tidak buta-tuli terhadap realitas yang timpang dan menyandera Indonesia itu”.

Neo liberalisme dalam bidang sosial ekonomi adalah salah satu bentuk ekstremisme yang berbahaya, menurut Haedar.

Hal tersebut memicu ketimpangan tajam pada suatu kelompok masyarakat. Aspek inilah yang juga tak kalah penting untuk dimoderasi.

Ketiga, moderasi dalam pembangunan. Mengutip dari penjelasan Soepomo, Haedar menjelaskan bahwa Indonesia itu hakikatnya hidup dan bernyawa. Hal ini perlu dicermati dalam memahami suatu negara.

Dimana negara tidak boleh hanya dilihat secara positivistik saja sehingga membuahkan kesimpulan yang matrealistik, namun juga harus dilihat dari segi metafisik, dimana entitas-entitas diluar materi juga turut andil disorot.

Menurut Haedar, Indonesia adalah sebuah jati diri, yang tersusun dari jasad dan jiwa, kulit dan isi, negara dan rakyat, serta dimensi-dimensi lainnya yang menunjuk pada satu kesatuan tanah air, bangsa, dan negara.

Disinilah Haedar memberikan kritik, dimana membangun negara tidak cukup hanya membangun dalam hal fisik/infrastrukturnya saja, namun haruslah dibangun juga segi bathiniyyahnya, seperti akhlak, moral, karakter serta etika setiap warga negaranya.

Keempat, moderasi dalam nasionalisme. Haedar menjelaskan, “Dalam memahami dan membingkai Indonesia dengan nasionalisme, koridor keindonesiaan semestinya tetap berada di tengah, sehingga tidak berkembang ke ultra nasionalisme atau chauvinisme”.

Banyaknya oknum-oknum maupun sebagian kelompok yang mengkampanyekan dirinya paling nasionalis terkadang justru malah kurang mengetahui akan konsep nasionalisme autentik. Efek dari hal tersebut mereka menjadi tersesat dalam kutub radikal dari nasionalisme, yakni ultra nasionalisme dan chauvinisme.

Komentar