Langsung ke konten utama

Opini: Yang Harus Dicermati dalam Kasus Novel Baswedan


Kasus Novel Baswedan memang masih menarik sekali untuk diikuti, terkait prosesi berjalannya hukum memang seakan penuh intrik serta polemik. Kalau dianalisis lebih lanjut ada beberapa poin yang harus menjadi pertimbangan bagi kita sebagai insan penikmat informasi, tentu juga sebagai netijen budiman dalam memandang sebuah kasus di medsos.

Kita tahu bahwa kasus Pak Novel ini adalah buah panjang dari keterlambatan proses hukum, di mana perlu waktu sekian lama sebelum akhirnya bisa tertangkap sang pelaku dan digelar sidang perkara.

Yang ingin saya kritisi adalah terlepas bagaimana keadilan ditegakkan, entah sengaja atau tidak, yang pasti tindakan pelaku memang sebuah kriminal dan tentu wajib mendapat hukuman sebagai balasan atas tindakannya.

Namun, belakangan diketahui banyak orang seakan hanyut dalam hagemoni golongan yang menggiring opini bahwa kasus novel tersebut berbuntut pada ketidak adilan rezim penguasa, seluruh imbas keburukannya dilayangkan pada bobroknya rezim,rezim dan rezim.

Padahal kalau dicermati, hukuman 1 tahun bagi pelaku tersebut adalah masih bersifat tuntutan dari jaksa penuntut umum dan belum vonis akhir dari sang hakim perkara.

Akan tetapi dalam jagad maya sudah bertebaran diksi-diksi yang menggiring opini masyarakat untuk turut mencaci maki keputusan hukum yang hanya melayangkan hukuman 1 tahun bagi pelaku, hal tersebut dirasa sangat tidak adil. Wal hasil kemudian menuntut Presiden Jokowi agar mengintervensi hukum dengan turut mengambil tindakan perihal kasus tersebut.

Menariknya adalah kalau disorot lebih rinci ternyata sang jaksa penuntut 1 tahun dalam perkara ini Fedrik Adhar memiliki afiliasi terhadap golongan PA 212, sesaat setelah dicari rekam jejak digitalnya selama ini melalui akun-akun medsosnya.

Sedangkan diketahui bahwa kelompok PA 212 adalah salah satu simpatisan oposisi yang selama ini getol menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Pak Novel sendiri juga salah satu orang yang masuk dalam zona tersebut, apalagi beberapa hari lalu diketahui pembentukan kelompok New KPK dipelopori oleh Novel Baswedan dan beberapa tokoh yang dulu mengisi posisi sebagai oposisi pemerintah. Ada permainan apakah ini? Tentu korelasi-korelasi fakta tersebut menuai benang merah yang sedikit banyak bisa ditarik sebuah kesimpulan.

Tapi saya tidak akan langsung menarik kesimpulan begitu saja karena masih ada beberapa poin yang menurut saya janggal dan akan semakin memperjelas benang merah dalam kasus penuh drama ini.

Dalam teori kausalitas, tentu adanya sebuah tindakan apapun itu adalah sebuah akibat, buntut dari sebab yang pernah dilakukan selama ini. Logika sederhananya begini, mari kita memandang Pak Novel sebagai subjek intelektual atau individual di mana posisinya adalah sebagai personal yang melakukan aktifitas sehari-hari layaknya manusia biasa dan tak luput dari dosa dan khilaf, bukan sebagai pimpinan KPK yang memiliki kekuatan penuh dalam penindak lanjutan terhadap tersangka korupsi.

Bukankah sebelum adanya kasus ini, Pak Novel sudah terjerat kasus kriminal serupa. Sekedar mengingatkan bahwa kasus pembunuhan terhadap pencuri sarang burung walet adalah kasus yang menyeret nama Novel Baswedan menjadi tersangka utama tahun 2004 lalu.

Namun karena beberapa faktor sidang perkara tersebut kemudian tidak diteruskan dan menjadi hilang begitu saja dengan dalih tak cukup barang bukti yang terlampir, padahal di sana sudah ada korban yang kehilangan nyawa. Tentu sangat janggal sekali, seakan hukum memberi keistimewaan pada Novel Baswedan, padahal seharusnya di mata hukum posisi seluruh masyarakat adalah sama (equality before the law) tanpa terkecuali.

Lebih-lebih belakangan diketahui motif dari pelaku penyiraman air keras Novel Baswedan adalah motif balas dendam dari prahara kasus sarang burung walet yang tak tersentuh oleh keadilan.

Dari kejadian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa boleh jadi memang penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan adalah buah dari tindakannya sendiri, kalau memang kejahatan tersebut dilandasi karena posisinya sebagai ketua KPK yang seakan-akan diserang oleh koruptor-koruptor jahat, tentu harus diselidiki pula apakah orang-orang yang ada di KPK mendapat perlakuan serupa, karena kita tahu bahwa dalam organisasi atau lembaga terdapat mekanisme bekerja, tentu yang rawan mendapat resiko kejahatan adalah devisi penyelidik, dan devisi penindakan dimana mereka terjun langsung dalam penentuan target koruptor.

Harusnya mereka juga disorot dan mendapat perhatian serius, agar tidak terus-menerus terjadi stigma bola api di masyarakat bahwa seakan-akan pemerintah anti dengan KPK, atau bahkan pemerintah berusaha mengamankan para koruptor dengan semakin mendiskriminasi lembaga KPK. Sudah bisa dipastikan ujung-ujungnya adalah rencana jahat pemakzulan Presiden yang kerap dilontarkan oleh kelompok-kelompok oposisi.

Komentar