Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2020

Cerpen: Jiangkrek

Berangkat dari pertanyaan yang dikirim lewat WhatsApp tadi sore, tepatnya dari kawan saya yang baru saja akrab dan ternyata dia juga baru tau nama lengkap saya siapa. Ya, barang tentu fokusnya pada nama belakang saya yang terasa agak aneh itu. Begini pertanyaannya: "Namamu kok onok Iramane seh Ga, bapakmu seneng dangdut ya? "Kok tau?" Balas saya. (Sambil berharap dalam hati ada jawaban darinya: "karna kau telah menggoyangkan hatiku"). "Owalah, kan tenan" balasnya. Dalam hati saya mbatin "yaah kecewa deh, ternyata jawabannya diluar dugaan". "Emange kenapa?" "Gpp Ga, koyok e aku ngerti namamu iku terinspirasi teko sopo" tandasnya. "Sopo emang?" "Koyok e bapakmu iku ngefans  ambi penyanyi dangdut deh Ga", imbuhnya. "Aku seh sempet berfikiran koyok ngunu yoan, emange awakmu ngerti sopo penyanyi seng difans i bapakku sampe beliau ngewenehi nama belakangku Irama?&

Cerpen: Hidayah Datang Tanpa Terduga

Rasanya baru kemarin salah seorang kawan memberikan nasehat yang amat bijak kepada saya. Saya sendiri sampai kaget, tidak biasanya dia seperti itu, entah kesurupan perewangan Jin Islam dari mana.  Saya masih ingat betul kalimatnya seperti ini " yen awakmu gak iso ikhlas menerima kenyataan hidup Ga, maka selamanya ia akan menjadi masalah sepanjang hidupmu" .  Saya berusaha memahami betul kalimat tersebut. Saya baru mengerti betapa sangat besar kandungan nilai etis serta filosofis di dalamnya, meskipun seraya tetap berkeyakinan kuat pasti waktu itu dia memang gak sekarepe dewe , atau bahasa kerennya ketempelan Jin. Hingga pada akhirnya, saya pun paham apa yang dimaksudkannya. Tanpa pikir panjang saya pun kemudian langsung bergegas mengganti nama-nama akun media sosial yang saya miliki dengan nama asli. Karena selama ini saya merasa belum bisa ikhlas menerima kenyataan, berupa memiliki nama belakang yang terasa aneh bagi saya (Irama). Perasaan tidak i

Moderasi Beragama: Elaborasi Pengetahuan, Emosi dan Kehati-hatian

Menurut M. Quraish Shihab dalam buku Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, dijelaskan bahwa moderasi beragama atau wasathiyyah bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu, bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis sebagaimana yang dipahami sebagian orang dari hasil pemikiran filsuf Yunani. Bukan juga sebagaimana dipahami dari namanya “ wasath”, yakni “pertentangan” yang mengantar pada dugaan bahwa wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif, seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya. Moderasi bukan juga kelemah-lembutan. Memang, salah satu indikatornya adalah lemah lembut dan sopan santun, namun bukan berarti tidak juga diperkenankan menghadapi segala persoalan dengan tegas. Disinilah berperan sikap aktif wasathiyyah   sebagaimana berperan pula kata padanannya yakni “adil” dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Lebih lanjut Qurais

Moderasi Yes, Deradikalisasi No

Gagasan Haedar Nashir bertajuk “Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan” yang disampaikan tahun lalu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, tepatnya tanggal 12-12-2019 ketika prosesi acara pengukuhannya menjadi guru besar dalam bidang Sosiologi, memberikan pencerahan terhadap kehidupan berbangsa dan beragama. Gagasan Haedar tersebut seolah menjadi lampu penerang bagi bangsa dalam memahami dan menyikapi kasus radikalisme. Haedar menjelaskan terminologi radikalisme secara proporsional, dengan posisi yang netral. Radikalisme yang selama ini diidentikkan dengan kekerasan dan terorisme, menurut Haedar, hal tersebut adalah sebuah kekeliruan, seperti halnya kekeliruan saat menganggap radikalisme selalu berkaitan dengan kelompok beragama. Bagi Haedar, radikal dan radikalisme adalah suatu konsep yang kompleks. Sehingga perlu dilihat dari kacamata multiperspektif, agar tidak mengalami kesalahan dan kekeliruan dalam memaknai keduanya. Haedar menawarkan sebuah konsep yang ia na

Puisi: Kawan

Lalu lalang gemuruh angin yang terhempas dari baling-baling kipas, menyingkap, mengusir keheningan malam.  Naas, gemuruhnya tak kuasa mengusir kepulan polusi angan-angan. Membayangkan, seandainya dengan sekejap keadaan kembali seperti semula, tentunya ketentraman dan kebahagiaan akan senantiasa berkobar-kobar. Kurindu, masa-masa dimana berjabat tangan mampu memercik api senyuman.  Kurindu, masa-masa dimana memandang wajah tiada terhalang oleh alat pengaman.  Kurindu, berbincang-bincang erat tanpa ada rasa khawatir akan kesehatan. Namun, realita berbisik lembut ke telinga. Seakan berkata: "Kawan, sampai kapan keadaan akan tetap seperti ini? Kawan, sudikah kau memperpanjang keadaan yang menjemukan ini?  Tegakah kau terus menyaksikan berita penguburan jiwa-jiwa yang duka? Relakah kau membahayakan orang lain hanya demi pemuas egomu semata? Kawan, sekejap menahan, sekejap bertahan, niscaya, sekejap juga akan sirna wabah kesengsaraan."